17 Desember 2016

MAKALAH POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA DIBAWAH KEPEMIMPINAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

sumber : https://www.emaze.com



LATAR BELAKANG

Politik luar negeri Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang   Yudhoyono ( SBY ) menampilkan sosok politik yang high profile. Keikutsertaan Indonesia dalam G-20 secara umum diakui tidak saja sebagai ekspresi pengakuan dunia terhadap perkembangan Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir, tetapi juga hasil dari per juangan dan  keinginan pemerintah, termasuk Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), untuk diperhitungkan dalam kancah internasional. Ini bersifat indikatif dari kinerja ekonomi politik nasional dan politik luar negeri Indonesia. Walau masih terlalu dini, partisipasi aktif Indonesia dalam asosiasi negara-negara kekuatan ekonomi tersebut memberi ruang yang lebih lebar bagi Indonesia untuk turut serta di dalam menentukan regulasi-regulasi dan merekonstruksi ekspektasi-ekspektasi global tentang kerjasama, pembangunan, dan keamanan internasional.
Sejumlah catatan prestasi lainnya dapat dikemukakan untuk menegaskan politik luar negeri Indonesia di bawah SBY yang flamboyan. Di antaranya adalah  kepemimpinan  Indonesia  dalam ASEAN dan kemampuan Indonesia menggiring atau mengarahkan agenda- agenda kerjasama dalam APEC, APT, maupun bentuk kemitraan ASEAN lainnya. Bali Democracy Forum (BDF) dan keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (T N I )   dalam operasi perdamaian PBB yang kemudian disusul pembangunan pusat pendidikan/pelatihan peace keeping force (PKF) di Sentul, serta shuttle di plomacy dalam menjembatani perseteruan wilayah antara Thailand-Kamboja atas Candi Preah Vihear juga menampilkan peace- outlook dan democratic outlook Indonesia secara internasional.
Tanpa mengabaikan capaian-capaian domestik yang menopang politik luar negeri yang high profile tersebut, pada dasarnya dapat dikatakan bahwa SBY dan Kemenlu telah mencoba menciptakan arena permainannya sendiri di luar batas-batas teritorial Indonesia. Dengan kata lain, Indonesia tengah membangun “panggung”nya sendiri atau telah melakukan permainan “tandang uji coba” di luar negeri.
Terpilihnya pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) sebagai presiden dan wakil presiden pada pemilu Juli 2014 lalu menyiratkan perubahan atau  perbedaan  dalam  kinerja  politik luar negeri Indonesia lima tahun ke depan. Secara hipotetik Jokowi-JK akan lebih menampilkan politik luar negeri yang low profile atau setidak-tidaknya mengurangi “terlalu banyak tampil di luar negeri” dan akan lebih fokus pada urusan dalam negeri atau ditujukan semata-mata untuk membenahi dan memperkuat “di dalam”. Bagi pasangan ini penguatan dan pembangunan ekonomi nasional nampak lebih menarik dan lebih penting.


PEMBAHASAN

Kebijakan  luar  negeri  Jokowi  yang berorientasi kedalam (inward-looking) Setidak-tidaknya terdapat empat argumen yang dimajukan untuk mengatakan kecenderungan inward- looking dari kebijakan luar negeri presiden terpilih Joko Widodo.
1.      Prinsip dan Tujuan Konstitusional Politik Luar Negeri:
Argumentasi pertama yang memungkinkan sekaligus membenarkan kebijakan luar negeri Jokowi yang inward-looking adalah prinsip politik luar negeri yang dianut selama ini, yakni prinsip bebas-aktif.  Prinsip ini membuka ruang bebas bagi interpretasi dan pemaknaan oleh siapapun dan dalam kondisi apapun. Ini dapat dilihat dalam rumusan visi dan misi hubungan luar negeri Jokowi-JK, yakni “terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong”. Visi ini mempertegas makna “kebebasan” Indonesia dengan cara mewujudkan kedaulatan, kemandirian, dan kepribadian nasional. Di dalamnya juga termaktub sikap dan sifat “aktif” untuk dapat merealisasikan kemandirian nasional atas landasan kerjasama positif dan konstruktif yakni gotong-royong.
Prinsip “bebas-aktif” dari politik luar negeri Indonesia selalu bermakna ganda. Pertama, bahwa politik luar negeri Indonesia bertujuan untuk memelihara identitas nasional.  Salah satu pertanyaan kritis dalam konteks ini, sebagaimana diutarakan  oleh  Ubaedillah  dan  Abdul Rozak, adalah “benarkah ungkapan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang   ramah   dan   agamis.   Benarkah ungkapan  ini  masih  menjadi  ciri  khas internasional, nasionalisme Indonesia yang dibangun adalah nasionalisme kosmopolitan yang menandaskan Indonesia  sebagai  bangsa  tidak dapat bangsa Indonesia saat ini?”. menghindari bangsa lain, namun tetap yang dilakukan mengatakan, “Mencermati kenyataan sehari-hari, julukan ini tidak selamanya tepat. Tingginya kasus korupsi dan maraknya tindakan kekerasan yang dilakukan masyarakat dan negara merupakan kenyataan yang jauh dari julukan luhur Indonesia   sebagai   masyarakat   yang menghindari  bangsa  lain,  namun  tetap yang dilakukan mengatakan , “Mencermati kenyataan sehari-hari, julukan ini tidak selamanya tepat. Tingginya kasus korupsi dan maraknya tindakan kekerasan yang dilakukan masyarakat dan negara merupakan kenyataan yang jauh dari julukan luhur Indonesia   sebagai masyarakat yang memiliki nasionalisme kultural ke- indonesiaan”.
Makna kedua dari prinsip “bebas- aktif” adalah bahwa politik luar negeri ditujukan pula untuk mewujudkan cita- cita nasional sebagaimana dicantumkan di dalam pembukaan UUD 1945, yakni ramah dan agamis” . Disamping mencerdaskan kehidupan bangsa fenomena negatif tersebut, prinsip tersebut juga hendak menegaskan identitas nasional yang majemuk dan toleran. Dengan kata lain, sekalipun karakteristik   global   bersifat   pluralis terdapat k ecenderungan kearah universalisasi dan uniformitas nilai-nilai global. Dengan mencermati evolusi nasionalisme Indonesia dari periode revolusi kemerdekaan hingga saat ini, Ubaedillah dan  Abdul Rozak berpendapat bahwa  saat  ini  yang  berkembang  di Indonesia adalah “nasionalisme kosmopolitan”. Dikatakan, “dengan bergabungnya  Indonesia  dalam  sistem meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan ikut serta menjaga perdamaian dan ketertiban dunia. Sekalipun tujuan yang terakhir   dapat   dilihat   sebagai   tujuan yang bersifat eksternal, politik luar negeri juga dimaksudkan untuk mendukung pencapaian  dua  cita-cita  pertama  yang lebih bersifat internal. Sebab, sebagaimana disadari bahwa hanya dengan melalui peningkatan kemakmuran nasional maka peran serta dalam pemeliharan perdamaian dunia dapat dilaksanakan. Dan lebih dari itu, dengan keterpenuhan seluruh cita-cita tersebut maka tujuan kemerdekaan menjadi bermakna  dan  kedaulatan  bangsa  dan negara Indonesia tergenapi.
Atas dasar prinsip politik luar negeri yang bebas aktif dan amanat konstitusi, maka dapat pula dikatakan misi atau tujuan kebijakan luar negeri Jokowi-JK selaras.
Tujuan tersebut adalah:
·         Mengedepankan identitas sebagai negara kepulauan dalam pelaksanaan   diplomasi   dan membangun kerjasama internasional;
·         Meningkatkan   peran   global melalui diplomasi middle power yang menempatkan Indonesia sebagai kekuatan regional dan kekuatan global secara selektif dengan memberikan prioritas kepada permasalahan yang secara langsung berkaitan dengan kepentingan bangsa dan negara Indonesia;
·         Memperluas mandala keterlibatan regional di Indo- Pasifik, dan;
·         Merumuskan dan melaksanakan politik luar negeri yang melibatkan peran, aspirasi dan keterlibatan masyarakat.


Demikian pula dengan empat prioritas yang ditawarkan oleh presiden terpilih Jokowo, yakni (1) Perlindungan WNI, termasuk TKI di luar negeri; (2) Perlindungan  sumber  daya  alam  dan perdagangan; (3) Produktivitas perekonomian; dan (4) Pertahanan keamanan nasional, regional serta perdamaian   dunia. Sementara Jokowi menaruh perhatian khusus pada komitmen pemberian dukungan bagi kemerdekaan dan keanggotaan Palestina di PBB, Jokowi juga mengedepankan diplomasi total di dalam menyelesaikan potensi sengketa dengan negara-negara lain.
Prioritas program di atas, sekalipun masih bersifat normatif (on paper) bisa dilihat sebagai prioritas yang menunjukkan kecenderungan inward- looking. Hal ini berbeda, jika tidak bertentangan,  dengan misi, kebijakan dan strategi terdahulu yang lebih menampilkan kesan “baru”, “proaktif” dan outward-looking, meskipun seorang analis berpendapat, “Yudhoyono's foreign policy is all about image”.

2.      Konstelasi Politik Internasional dan Regional:
Pada dasarnya dinamika politik internasional yang diwarisi oleh Presiden Joko  Widodo  tidak berbeda dari masa pemerintahan Presiden Susilo B .Yudhoyono. Ini menjadi argumentasi kedua mengapa Jokowi akan cenderung mengutamakan penguatan nasional. Kekuatan-kekuatan internasional masih akan tetap berada di tangan AS, Uni Eropa, bersama dengan organisasi- organisasi   internasional   seperti   PBB, U E / N ATO, IMF/WB , WTO , dll . Lembaga-lembaga semacam ini tetap tidak   terpisahkan   dari  AS   dan   UE karena menjadi instrumen penting bagi legitimasi maupun penguatan dan perluasan peran negara-negara besar tersebut.   Perkembangan kekuatan Cina dan kemunduran relatif kekuatan Jepang serta geliat kekuatan yang kembali ditampilkan oleh Rusia telah menjadi bagian dari dinamika politik internasional dalam satu dasawarsa terakhir. Ketegangan dan persaingan di antara mereka mempertegas multipolarisme kekuatan-kekuatan dunia Hal itu disemarakkan pula oleh kekuatan- kekuatan middle-power lainnya seperti India   dan   Brasil.   Kekuatan-kekuatan revisionis dengan arsenal nuklir dan ideologi ekstrimnya (left-wing atau right- wing) seperti Korea Utara dan Iran kerap pula meningkatkan ketegangan global dan memaksa pergeseran isu dan agenda internasional. Kemunculan gerakan- gerakan kritis-ekstrim-radikal berupa terorisme internasional juga menambah ketegangan tertentu yang tidak saja mengganggu ketertiban dunia, tetapi juga mengancam struktur global yang dibangun di atas negara (state-system) dan didominasi oleh negara-negara besar.

Selain isu politik keamanan, agenda utama global tetaplah pada perekonomian. Sekalipun ketegangan-ketegangan politik di atas mempengaruhi kinerja  ekonomi  internasional,  forum- forum internasional masih tetap didominasi oleh persoalan ekonomi, baik itu dalam rangka meningkatkan kerjasama untuk memproduksi lebih banyak keuntungan dan kebaikan bersama , maupun dalam rangka mengatasi  kemunduran  yang  mungkin terjadi, termasuk menyelesaikan sengketa-sengkata ekonomi, investasi, dan perdagangan seperti halnya Eurocrisis. Pernyataan pers tahunan Menlu Marty Natalegawa pada awal tahun2014 menggambarkannya terjadinya “trust deficit” sekalipun kerjasama ekonomi dan saling ketergantungan terus berlanjut.
Isu-isu non-tradisional seperti lingkungan hidup (global warming dan climate change), penegakan HAM, perluasan   demokrasi   dan   partisipasi nampaknya tetap merupakan isu marginal. Kehadirannya ke panggung internasional ditentukan oleh peristiwa- peristiwa tertentu atau oleh gerakan kelompok-kelompok tertentu. Dalam hal ini peran global civil society organizations and movements termasuk media  massa  dan  media  sosial  serta kemampuan mereka mendapatkan dukungan dari pemerintahan negara- negara dan organisasi internasional akan sangat penting. Di samping isu-isu yang bersifat universal di atas, terdapat pula isu-isu yang  lebih  spesifik  baik  karena  faktor geografis maupun pertimbangan-pertimbangan pragmatis. Dinamika politik dan ekonomi di Asia Tenggara dan Asia nampaknya akan tetap didominasi oleh pelaksanaan ASEAN Community dan munculnya “ancaman” Cina.
Komunitas ASEAN dengan tiga pilarnya, ASEAN Political and Security Community (APSC), ASEAN Economic Community (AEC) dan ASEAN Social and Cultural Community (ASCC) yang hendak diwujudkan pada Desember 2015 menuntut kesiapan maksimal baik dari setiap negara anggota maupun institusi ASEAN sendiri. Tidak tertutup kemungkinan terjadinya ketegangan di antara negara-negara anggota yang  diakibatkan oleh ketidak-siapan dan tuntutan pengecualian (exceptions) atau pembebasan (exemptions). D a l a m konteks ini, presiden Jokowi nampak memberi perhatian besar. Presiden Jokowi boleh jadi melihat ASEAN Community sebagai “sesuatu yang tidak terelakkan”, tetapi boleh jadi pula sebagai “sesuatu keharusan yang menguntungkan.”

Peningkatan kekuatan Cina yang drastis menimbulkan ancaman sekaligus peluang   bagi   negara-negara   anggota ASEAN, termasuk Indonesia. Klaim negara tirai bambu tersebut atas wilayah di Laut Cina Selatan (LCS), yang didukung oleh peningkatan kekuatan militer, tidak urung menimbulkan kekhawatiran sekaligus perlawanan atas kemungkinan hilangnya  wilayah dan sumber daya dari masing-masing negara pengklaim lainnya. Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darusalam, yang merupakan negara-negara anggota ASEAN, di samping Jepang dan Korea Selatan, juga berkepentingan agar jalur laut tersebut aman untuk perdagangan dan aktifitas ekonomi lainnya.
Terhadap perkembangan situasi di LCS nampaknya Presiden Jokowi memandangnya sebagai sesuatu yang tidak   secara   langsung   berhubungan dengan kepentingan Indonesia. Pandangan tersebut telah menuai kritik dengan mengatakan bahwa Jokowi tidak memahami persoalan tersebut dengan baik. Sesuai dengan pandangan tersebut dan seakan-akan mencoba menanggapi kritikan tersebut, Jokowi menegaskan bahwa Indonesia akan menempuh jalan diplomasi untuk mengatasi persoalan tersebut. Namun, dia juga menyiratkan, keterlibatan diplomatik tersebut harus mampu memberi manfaat bagi Indonesia.

3.      Dinamika Politik dalam Negeri:
Argumentasi ketiga yang mendorong dan sekaligus membenarkan kebijakan luar negeri Presiden Jokowi condong inward-looking dan low-profile adalah dinamika politik dalam negeri. Kemenangan Jokowi-JK dalam pilpres bukanlah tanpa kesulitan atau perlawanan. Dengan memenangkan hanya 52 persen suara dan perbedaan sekitar 7 juta suara, margin kemenangan tersebut telah membuka ruang bagi pasangan Prabowo-Hatta untuk melakukan  tuntutan hukum agar Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan kemenangan Jokowi-JK. Keputusan MK yang mengukuhkan kemenangan Jokowi-JK sebagaimana sebelumnya telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan  Umum  (KPU)  pada  21  Juli 2014 tidak menyurutkan koalisi merah- putih pendukung Prabowo-Hatta untuk memberikan “kesulitan-kesulitan” bagi pemerintahan Jokowi-JK dalam lima tahun   kedepan.   Hal   ini   antara   lain dimungkinkan mengingat mayoritas anggota DPR merupakan pendukung Koalisi Merah-Putih (KMP) dan menjadi penyeimbang, jika bukan menjadi oposisi, terhadap Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang merupakan pendukung Jokowi-JK.
Tiga fungsi utama badan legislatif DPR, yaitu regulasi (legislasi) , penganggaran, dan pengawasan akan berdampak besar terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi eksekutif yang diemban presiden. Politik dan kebijakan “hati-hati” akan mewarnai pemerintahan Jokowi. Di satu   sisi,  Jokowi akan menghindari mengambil  kebijakan-kebijakan kontroversial yang mengundang penolakan dari DPR. Kebijakan “mengambil hati” anggota DPR dapat dilakukan dengan kebijakan dan program yang “memenangkan hati” rakyat. Kondisi ini, di sisi lain, akan menyita perhatian dan energi Jokowi untuk (KPK) merupakan contoh nyata dari tersanderanya kebijakan-kebijakan dan program-program pembangunan yang telah dicanangkan oleh pemerintahan Jokowi-JK.
Daya tarik atau beban politik domestik sebenarnya tidak berhenti pada relasi presiden (lembaga kepresidenan dan kabinet) dan DPR (beserta partai- partai politik). Sejalan dengan agenda konsolidasi demokrasi, terdapat sejumlah masalah pokok yang perlu mendapat perhatian presiden. Diantaranya adalah upaya peningkatan kepatuhan pada hukum (law-enforcement), pemberantasan korupsi, reformasi birokrasi, penguatan lembaga-lembaga demokrasi (seperti partai politik, CSOs dan media) serta perluasan konstituen demokrasi.
Secara positif dan optimistik, Rizal mengelola hubungan baik dengan DPR Sukma mengatakan bahwa “figur melalui program-program yang baik untuk rakyat dan selanjutnya akan mengurangi perhatiannya pada isu-isu internasional. Kasus penunjukan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri serta rangkaian perdebatan politik yang bermuara pada persengkataan antara Polri dan   Komisi   Pemberantasan   Korupsi demokrasi menjadi elemen utama bagi kebijakan luar negeri Indonesia”. Lebih lanjut dia berpendapat bahwa kemampuan Indonesia meraih kepemimpinan di ASEAN,   memainkan   peran   global, mempromosikan diri sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, menjadi negara dengan mayoritas Muslim moderat, serta menjadi bridge builder dan problem solver dalam komunitas global, hal itu “sangat tergantung pada sejauh mana Indonesia dapat mengelola tiga isu kunci domestik, yaitu: konsolidasi demokrasi, dampak nasionalisme internal pada kebijakan luar negeri, dan dimensi Islam” 

4.      Idiosinkretisme Jokowi:
Prinsip politik luar negeri Indonesia “bebas-aktif” dan tujuan konstitusional Negara Indonesia selain membuka ruang pada interpretasi dan perumusan prioritas sebagaimana dibahas sebelumnya, juga membuka ruang terhadap berbagai model pengambilan keputusan.76 Rational Actor Model (RAM) misalnya mengandaikan bahwa setiap pemerintah atau pembuat keputusan politik luar negeri melakukan analisis yang mendalam dan menyeluruh terhadap berbagai informasi, fakta, dan peristiwa  yang  terjadi.  Keputusan  dan kebijakan negara-negara lain pun dicermati dan dikaji. Hasil kajian yang terkerangka   melalui cost-and-benefit analysis akan bermuara pada pengambilan kebijakan yang lebih menguntungkan.Dalam sejumlah kasus, tidak ada keraguan bahwa pemerintahan sebelumnya menerapkan model ini. Paling tidak secara politis atau ideologis, pemerintah pasti berdalih bahwa setiap kebijakan luar negeri yang diambil telah dipertimbangkan secara seksama dan ditujukan semata-mata bagi kepentingan nasional.
Salah satu kesulitan dan sekaligus persoalan atau kelemahan “model aktor rasional” adalah keharusan untuk mengetahui semua aspek-aspek yang terkait dengan tujuan, perhitungan, pilihan-pilihan, konsekuensi yang terkait dengan proses, hasil, dan akibat dari pengambilan keputusan kebijakan luar negeri  baik  dari  sisi  internal  maupun eksternal. Kesulitan ini turut memunculkan  bureaucratic  behavioral model yang lebih merupakan penyederhanaan dari RAM.
Yang ditegaskan oleh model perilaku organisasi ini adalah adanya prosedur- prosedur organisasional baku (POB) di dalam menjalankan tugas-tugasnya serta apabila menghadapi persoalan-persoalan tertentu. POB ini menjadi acuan perilaku dan tindakan para pembuat dan pelaksana keputusan luar negeri. Kehebatan atau tingginya kualitas kebijakan yang diambil sangat ditentukan oleh tingkat institusionalisasi organisasi pembuat keputusan itu sendiri.
Model ketiga pengambilan kebijakan luar negeri adalah governmental political model.   Berbeda dengan model birokratis, model politik pemerintahan ini menjelaskan proses pengambilan kebijakan luar negeri sebagai political games yakni pertarungan antara kekuatan-kekuatan politik dengan preferensi-preferensi atau kepentingan- kepentingan tertentu. Keputusan yang diambil merupakan hasil proses tawar- menawar dan/atau kompromi. Sebagai permainan politik, pertarungan dan negosiasi tidak berlangsung hanya di ruang-ruang sidang elit politik, tetapi juga di ruang-ruang publik yang melibatkan kekuatan massa dan opini masyarakat. Sangat besar kemungkinan dimana kekuatan atau kekuasaan yang lebih besar pada akhirnya akan menentukan kebijakan yang akan diambil.
Ketiga model pembuatan kebijakan politik luar negeri di atas pada hakikatnya tidak mampu mengabaikan eksistensi dan signifikansi individu-individu yang terlibat. Ketiganya lebih merupakan over-simplifikasi dengan cara men-subordinasikan   personal   individuals dalam proses-proses pembuatan keputusan dalam bentuk “rasionalitas kolektif”, “kepentingan politik atau publik”, dan prinsip-prinsip efektifitas dan efisiensi birokrasi. Sejatinya, yang terjadi adalah konversi rasionalitas subjektif dan transformasi kepentingan-kepentingan subjektif. Kesamaan-kesamaan  pandangan  dan  kepentingan menjadi syarat penting untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan kolektif dan institusional. Dan, apabila tidak terdapat kesamaan tersebut, maka yang kemudian menentukan adalah kepatuhan inter-subjektif (dari anggota kelompok) dan ketegasan serta kekuatan otoritas (dari pemimpin kelompok).
Faktor subjektifitas, khususnya pemimpin, selanjutnya menjadi dasar bagi kemunculan model pengambilan keputusan keempat, yakni idiosyncrasy model (idiosinkretisme). Model ini menggariskan empat dimensi yang perlu dicermati:  cognitive,  social  perception, dan keberanian merupakan aspek-aspek dari  selfness  yang  menentukan  others berupa prioritas kepentingan dan pengetahuan tentang orang/yang lain. Tidak tertutup kemungkinan bahwa kesederhanaan dan kejujuran Jokowi akan sangat menentukan prioritas-priorita motivational, dan emotional.
Dimensi dalam   politik   luar   negeri   Indonesia, kognitif ini menggambarkan pengetahuan dan pemahaman seseorang pemimpin terhadap (a) kompleksitas masalah- masalah  internasional,  (b)  relasi-relasi atau interaksi yang berlangsung (kerjasama, ketegangan, konflik, perang), (c) identitas, nilai, dan kepentingan yang terkandung atau terlibat dalam setiap relasi internasional, (d) regulasi-regulasi, ekspektasi-ekspektasi, serta kekuatan- kekuatan yang bermain (international regime/governance), dan (e) proses- proses dan pola kerja internasional dan nasional (domestic politics).
Sementara itu social perception dari idiosinkretisme menunjukkan pola hubungan antara self (diri sendiri) dan others (yang lain). Kesederhanaan, kejujuran,  keterbukaan,  atau  ketegasan seperti kerjasama-kerjasama ekonomi dan sosial dengan negara-negara lain atau organisasi internasional yang dipersepsi sebagai sama dengan dirinya sendiri, yakni jujur dan baik. Disisi lain, ketegasan dan keberanian Jokowi dapat muncul bila menghadapi negara atau aktor non-negara yang dinilai berlawanan atau melawan kesahajaan dan kejujuran.
Dalam  hal  ini  patut  ditegaskan  bahwa dimensi persepsi sosial dari sinkretisme Jokowi bersifat filosofis sekaligus instrumental. Dimensi motivasional dari idiosinkretisme mengarah pada self- realization dan self-actualization. Seperti halnya presiden-presiden sebelumnya, self-beliefs (nilai-nilai dan persepsi sosial) yang dimiliki oleh presiden dikehendaki untuk diaktualisasikan. Jika, misalnya Presiden   SBY   melihat   pentingnya keteraturan (seremonial dan protokoler) serta reputasi (posisi dan rasa hormat), hal itu terlihat jelas mempengaruhi tampilan politik luar negeri Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir. Ini sangat mungkin berbeda dengan self-beliefs yang dimiliki Jokowi yang sederhana dan jujur serta   mementingkan   kerjasama   yang konkrit dimana hal-hal tersebut diinginkan untuk direalisasikan dan ditampilkan.
Dengan kata lain, presiden terpilih Jokowi menghendaki politik dan hubungan luar negeri yang lebih berlandaskan hubungan kerjasama yang sederhana tetapi jujur serta memberi hasil positif dan konkrit bagi pihak-pihak yang terlibat.
Aspek terakhir dari idiosinkretisme adalah emotional. Ini mencakup emosi- emosi positif (seperti keriangan, simpel, fleksibel, optimis, dll) serta emosi-emosi negatif (sedih, gusar, marah, kecewa, dll). Pengenalan melalui pemberitaan media nampaknya Jokowi memiliki emosi- emosi positif yang lebih kuat atau menonjol dibandingkan dengan emosi- emosi negatif. Dia merasa aman dan nyaman dalam keramahan di tengah masyarakat. Ini sejalan dengan pandangan para pakar psikologis dimana Jokowi memiliki  kecenderungan  afiliasi  sosial yang lebih kuat serta memiliki emosi yang   lebih   stabil,   lebih   terkendali. Disamping kemampuan intelektual, “stabilitas emosi, karakter, sikap, dan kepribadian capres akan menentukan kemampuan melaksanakan pekerjaan seperti kemampuan berkomunikasi, pengajian keputusan, analisa dan mencari solusi kreatif”.
”Jika diukur dengan angka 1-10,” Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia  Hamdi  Muluk  menjelaskan,
”poin untuk stabilitas emosi Prabowo berada pada angka 5,16. Adapun Jokowi 7,60 dalam hal ketenangan dalam menghadapi persoalan yang berat. Sementara itu, cawapres Hatta Rajasa mendapat poin 6,48 dan Jusuf Kalla mendapat poin 7,51.” "Jadi, soal stabilitas emosi, Jokowi relatif lebih stabil dibanding Prabowo," katanya. Lebih lanjut dijelaskan, “Dalam hal kemampuan menyelesaikan persoalan pelik, poin untuk Jokowi juga lebih tinggi dibanding Prabowo.
“Jokowi mendapat poin 7,83 dan Prabowo 6,23 poin. Adapun Kalla mendapat poin 7,86 dan Hatta 5,99.”
Meskipun para ahli psikologi tidak memaparkan faktor-faktor yang mempengaruhi karakter dan emosi presiden terpilih Jokowi, bisa diduga bahwa latar belakang etnis, kultur, dan sosialnya turut menentukan. Dalam konteks ini, budaya dan tradisi Jawa yang menekankan sikap “guyub” dan mengutamakan  “harmoni”, mempunyai kontribusi terhadap kemampuan pengendalian emosi serta penampilan diri yang lebih santun.

Dalam rangka memperjelas pemahaman tentang faktor personalitas yang mempengaruhi orientasi kebijakan luar negeri, Margareth Hermann menyebutkan dua tipologi pemimpin dan kepemimpinan:  aggressive  leaders  dan ada enam karakteristik personal yang diajukan.    Aggressive leaders adalah “high in need for power, low in conceptual complexity, distrustful of others, nationalistic, and likely to believe that they have some control over the events in which they are involved.” Sementara itu, conciliatory leaders adalah “high in need for affiliation, high in conceptual complexity, trusting of others, low in nationalism, and likely to exhibit little belief in their own ability to control the events in which they are involved”.


Harapan dan tantangan

Tidak dapat dipungkiri bahwa selama pemerintahan Presiden SBY, “Indonesia telah muncul sebagai negara yang memiliki global responsibilities dan global interests. Tidak ada satupun isu global yang luput dari perhatian politik luar negeri Indonesia”. Prestasi ini patut diapresiasi oleh berbagai pihak.
Namun demikian, politik luar negeri Indonesia akan terus berlanjut seiring dengan perubahan dan perkembangan global serta sejalan pula dengan dinamika politik dalam negeri yang ditandai oleh pergantian presiden dari SBY kepada Jokowi.
Paparan singkat tentang model- model pengambilan kebijakan luar negeri di atas dimaksudkan untuk memperluas horison di dalam melihat (memprediksi) kebijakan luar negeri Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi-JK. “Model aktor rasional” memperlakukan faktor-faktor internal (nasional)   sama   pentingnya dengan faktor-faktor eksternal (internasional). Kompetensi para pembuat keputusan mulai dari Presiden dan jajaran Kemenlu menjadi kunci utama dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan Indonesia, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang, di segala aspek kenegaraan. Secara deduktif  Presiden, Menlu, para diplomat, dan jajaran pemerintah lainnya selama satu dekade terakhir mencoba mengikuti model ini yang pada gilirannya mampu mengangkat posisi dan reputasi Indonesia sebagai middle power dalam kancah politik regional dan global. Jika status dan peran ini dipandang perlu, seperti telah dinyatakan dalam visi-misi Jokowi-JK tentang Indonesia sebagai kekuatan regional dan global, maka Presiden Jokowi perlu mengetahui dan memahami secara cermat dan komprehensif dinamika politik global dengan segala bentuk relasi kekuatan dan kepentingan serta regulasi-regulasi global yang ada. Jajaran Kemenlu dan berbagai jenis think-tank perlu secara konsisten mensuplai presiden dengan berbagai informasi tentang peristiwa dan regulasi yang   ada   dan   juga   diiringi   dengan analisis-analisis rasional dan rekomendasi-rekomendasi yang reliable tentang peluang peran dan kepentingan Indonesia beserta resiko-resikonya.
Model birokrasi memberi peluang yang lebih besar kepada instansi yang selama ini menangani hubungan luar negeri Indonesia untuk melanjutkan kebijakan-kebijakan yang dianggap penting dan tepat.  Ini tidak terbatas pada Kemenlu, tetapi juga sekretariat kepresidenan dan wakil presiden, Kemenkopolhukam, Panglima TNI  dan Polri serta Komisi I DPR RI. Secara operasional, jajaran Kemenlu tetap berada di garis terdepan di dalam menentukan agenda-agenda   hubungan   luar   negeri  Indonesia yang dapat ditawarkan kepada presiden dan dikonsultasikan dengan lembaga-lembaga terkait lainnya . Meskipun keputusan akhir berada di tangan presiden sesuai dengan hierarki otoritas dan tata kelola pemerintahan, jajaran birokrasi Kemenlu perlu terus dimampu-kembangkan. Joko Susilo, mantan dubes RI di Swiss, menegaskan mendesaknya  reformasi  di  kementerian yang selama dipimpin Marty Natalegawa proses politik sebagai model ketiga pengambilan kebijakan luar negeri. Kebijakan tersebut boleh jadi mengubah orientasi politik luar negeri yang selama ini tidak atau kurang mementingkan karakter archipelagic country dan lebih berkiblat ke barat (Amerika dan Eropa). Jika dikaitkan dengan fasilitasi yang disediakan oleh pemerintah di dalam mendukung kebijakan luar negeri, maka ada kemungkinan   sumberdaya yang dinilai tidak berjalan.
Meski pendapat memiliki   akan   lebih   diarahkan   untuk itu dibantah oleh Dubes/Sekjen Kemenlu memperkuat, merealisasikan, dan Kristiarto Legowo, pengamat lain Ben mengaktualisasikan   konsep   maritime.
Perkasa Drajat mengusulkan, antara lain, pentingnya reformasi sumber daya manusia yang mampu membentuk kualitas kebijakan luar negeri dan kualitas diplomasi Indonesia. Dia menambahkan, “the Foreign Ministry has to be more inclusive and open to the public”.
Visi-misi pemerintahan Jokowi-JK yang mengedepankan identitas sebagai negara kepulauan serta perluasan mandala keterlibatan regional di Indo-Pasifik boleh jadi membuka peluang pada proses-axis. Sejumlah ide terkait dengan poros kelautan tersebut, seperti pembangunan tol laut, inter-konektivitas laut, dan penguatan armada angkatan laut (AL), mempunyai konsekuensi pada penguatan sektor-sektor dan pihak-pihak yang terkait   atau relevan dengan hal itu. Dengan mengasumsikan adanya keterbatasan sumberdaya, maka masuk akal bilamana terjadi pengurangan pada sektor atau wilayah yang selama waktu lalu dipandang sangat penting. Hal ini mungkin akan menimbulkan resistensi yang penyelesaiannya memerlukan negosiasi dan kompromi politik. Namun demikian, Ben Perkasa berpendapat bahwa inisiatif unilateral ini penting untuk mendongkrak  kepercayaan  diri  bangsa d a n   menumbuhkan pengertian internasional bahwa Indonesia “was indeed committed to its sovereignty and new maritime cooperation.”
Baik secara teoritis apalagi praktis, sangat sulit mengingkari faktor idiosinkretisme Jokowi dalam kebijakan luar negeri Indonesia ke depan. Prioritas politik luar negeri Jokowi-JK seperti disebut di atas merupakan program- program yang menggambarkan “apa dan siapa Jokowi”. Perlindungan WNI dan TKI adalah keprihatinan riil dan bersifat kolektif dan berorientasi kerakyatan. Perlindungan sumber daya alam dan optimalisasi perdagangan juga merupakan sektor-sektor riil yang memerlukan penanganan serius guna memulihkan rasa nasionalisme dan hargadiri bersama. Terkait dengan itu adalah pembangunan ekonomi yang memerlukan keterlibatan dan peran positif seluruh pemangku kepentingan nasional. Sementara itu, pertahanan dan keamanan nasional, regional, dan global dipandang penting untuk memuluskan prioritas-prioritas yang disebut terdahulu. Semua  prioritas  ini  dibungkus  dalam jargon people-based diplomacy , sebagaimana dinyatakan oleh anggota Tim Transisi Jokowi-JK Andi Widjajanto dan ketua kelompok kerja bidang pertahanan dan kebijakan luar negeri Jokowi-JK, Rizal Sukma.


PENUTUP

Secara konseptual dan normatif visi-misi kebijakan luar negeri Jokowi-JK tetap sejalan dengan prinsip bebas-aktif dan tujuan konstitusional politik luar negeri Indonesia. Namun demikian, patut dicermati bahwa terdapat ketidak- sesuaian antara visi-misi dengan prioritas program untuk beberapa bidang . Misalnya antara identitas kepulauan dan perlindungan WNI atau dukungan terhadap Palestina. Demikian juga halnya relevansi status middle-power dan mandala Indo-Pasifik dengan potensi ancaman/tantangan terhadap keamanan dan perdamaian dunia yang secara geografis berada di Afrika, Timur Tengah dan  Eropa  Timur.    Walaupun  terdapat pula ancaman keamanan dan stabilitas di Asia Timur, dalam hal ini Laut Cina Selatan,   dan   ketegangan-ketegangan bilateral sehubungan dengan territorial/border   disputes  di  Asia Tenggara (ASEAN), prioritas-prioritas yang dicanangkan tidak sertamerta terkait. Hal ini   dapat   menimbulkan dualisme atau pengaburan fokus perhatian dan alokasi sumberdaya yang ada. Tantangan normatif lainnya adalah sehubungan dengan pelibatan peran serta masyarakat yang memerlukan pengaturan-pengaturan yang lebih seksama.
Seperti halnya dinamika internasional yang bersifat fluktuatif tetapi kekuatan dan isunya saling terkait satu sama lain, semua langgam pengambilan keputusan luar negeri pun dapat berlangsung secara bersamaan atau bergantian. Pola-pola pengambilan keputusan apakah yang berbentuk aktor rasional, birokratis atau politis, pilihannya sangat ditentukan oleh prioritas tertentu. Namun demikian, pola yang bersifat individualis atau idiosinkratis dimana persepsi,   penilaian, kepribadian, dan gaya kepemimpinan Jokowi akan mempengaruhi kinerja politik luar negeri Indonesia. Berdasarkan itu, kebijakan luar negeri akan lebih diproyeksikan untuk penguatan di dalam (inward looking) dan akan merupakan kecenderungan utama politik luar negeri Indonesia lima tahun ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar