sumber : https://www.emaze.com
LATAR BELAKANG
Politik luar negeri Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono ( SBY ) menampilkan
sosok politik yang high profile. Keikutsertaan Indonesia dalam G-20 secara umum
diakui tidak saja sebagai ekspresi pengakuan dunia terhadap perkembangan
Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir, tetapi juga hasil dari per juangan dan keinginan pemerintah, termasuk Kementerian
Luar Negeri (Kemenlu), untuk diperhitungkan dalam kancah internasional. Ini
bersifat indikatif dari kinerja ekonomi politik nasional dan politik luar
negeri Indonesia. Walau masih terlalu dini, partisipasi aktif Indonesia dalam
asosiasi negara-negara kekuatan ekonomi tersebut memberi ruang yang lebih lebar
bagi Indonesia untuk turut serta di dalam menentukan regulasi-regulasi dan
merekonstruksi ekspektasi-ekspektasi global tentang kerjasama, pembangunan, dan
keamanan internasional.
Sejumlah catatan prestasi lainnya dapat dikemukakan untuk menegaskan
politik luar negeri Indonesia di bawah SBY yang flamboyan. Di antaranya
adalah kepemimpinan Indonesia
dalam ASEAN dan kemampuan Indonesia menggiring atau mengarahkan agenda-
agenda kerjasama dalam APEC, APT, maupun bentuk kemitraan ASEAN lainnya. Bali
Democracy Forum (BDF) dan keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (T N I ) dalam operasi perdamaian PBB yang kemudian
disusul pembangunan pusat pendidikan/pelatihan peace keeping force (PKF) di
Sentul, serta shuttle di plomacy dalam menjembatani perseteruan wilayah antara
Thailand-Kamboja atas Candi Preah Vihear juga menampilkan peace- outlook dan
democratic outlook Indonesia secara internasional.
Tanpa mengabaikan capaian-capaian domestik yang menopang politik
luar negeri yang high profile tersebut, pada dasarnya dapat dikatakan bahwa SBY
dan Kemenlu telah mencoba menciptakan arena permainannya sendiri di luar
batas-batas teritorial Indonesia. Dengan kata lain, Indonesia tengah membangun
“panggung”nya sendiri atau telah melakukan permainan “tandang uji coba” di luar
negeri.
Terpilihnya pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK)
sebagai presiden dan wakil presiden pada pemilu Juli 2014 lalu menyiratkan
perubahan atau perbedaan dalam
kinerja politik luar negeri
Indonesia lima tahun ke depan. Secara hipotetik Jokowi-JK akan lebih
menampilkan politik luar negeri yang low profile atau setidak-tidaknya
mengurangi “terlalu banyak tampil di luar negeri” dan akan lebih fokus pada
urusan dalam negeri atau ditujukan semata-mata untuk membenahi dan memperkuat
“di dalam”. Bagi pasangan ini penguatan dan pembangunan ekonomi nasional nampak
lebih menarik dan lebih penting.
PEMBAHASAN
Kebijakan luar negeri
Jokowi yang berorientasi kedalam
(inward-looking) Setidak-tidaknya terdapat empat argumen yang dimajukan untuk
mengatakan kecenderungan inward- looking dari kebijakan luar negeri presiden
terpilih Joko Widodo.
1.
Prinsip dan Tujuan Konstitusional
Politik Luar Negeri:
Argumentasi pertama yang
memungkinkan sekaligus membenarkan kebijakan luar negeri Jokowi yang
inward-looking adalah prinsip politik luar negeri yang dianut selama ini, yakni
prinsip bebas-aktif. Prinsip ini membuka
ruang bebas bagi interpretasi dan pemaknaan oleh siapapun dan dalam kondisi apapun.
Ini dapat dilihat dalam rumusan visi dan misi hubungan luar negeri Jokowi-JK,
yakni “terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian
berlandaskan gotong royong”. Visi ini mempertegas makna “kebebasan” Indonesia
dengan cara mewujudkan kedaulatan, kemandirian, dan kepribadian nasional. Di
dalamnya juga termaktub sikap dan sifat “aktif” untuk dapat merealisasikan
kemandirian nasional atas landasan kerjasama positif dan konstruktif yakni
gotong-royong.
Prinsip “bebas-aktif” dari politik
luar negeri Indonesia selalu bermakna ganda. Pertama, bahwa politik luar negeri
Indonesia bertujuan untuk memelihara identitas nasional. Salah satu pertanyaan kritis dalam konteks
ini, sebagaimana diutarakan oleh Ubaedillah
dan Abdul Rozak, adalah “benarkah
ungkapan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah
dan agamis. Benarkah ungkapan ini
masih menjadi ciri
khas internasional, nasionalisme Indonesia yang dibangun adalah nasionalisme
kosmopolitan yang menandaskan Indonesia
sebagai bangsa tidak dapat bangsa Indonesia saat ini?”. menghindari
bangsa lain, namun tetap yang dilakukan mengatakan, “Mencermati kenyataan
sehari-hari, julukan ini tidak selamanya tepat. Tingginya kasus korupsi dan
maraknya tindakan kekerasan yang dilakukan masyarakat dan negara merupakan
kenyataan yang jauh dari julukan luhur Indonesia sebagai
masyarakat yang menghindari bangsa
lain, namun tetap yang dilakukan mengatakan , “Mencermati
kenyataan sehari-hari, julukan ini tidak selamanya tepat. Tingginya kasus
korupsi dan maraknya tindakan kekerasan yang dilakukan masyarakat dan negara
merupakan kenyataan yang jauh dari julukan luhur Indonesia sebagai masyarakat yang memiliki nasionalisme
kultural ke- indonesiaan”.
Makna kedua dari prinsip “bebas-
aktif” adalah bahwa politik luar negeri ditujukan pula untuk mewujudkan cita-
cita nasional sebagaimana dicantumkan di dalam pembukaan UUD 1945, yakni ramah
dan agamis” . Disamping mencerdaskan kehidupan bangsa fenomena negatif
tersebut, prinsip tersebut juga hendak menegaskan identitas nasional yang
majemuk dan toleran. Dengan kata lain, sekalipun karakteristik global
bersifat pluralis terdapat k
ecenderungan kearah universalisasi dan uniformitas nilai-nilai global. Dengan
mencermati evolusi nasionalisme Indonesia dari periode revolusi kemerdekaan
hingga saat ini, Ubaedillah dan Abdul
Rozak berpendapat bahwa saat ini
yang berkembang di Indonesia adalah “nasionalisme
kosmopolitan”. Dikatakan, “dengan bergabungnya
Indonesia dalam sistem meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan
ikut serta menjaga perdamaian dan ketertiban dunia. Sekalipun tujuan yang
terakhir dapat dilihat
sebagai tujuan yang bersifat
eksternal, politik luar negeri juga dimaksudkan untuk mendukung pencapaian dua
cita-cita pertama yang lebih bersifat internal. Sebab,
sebagaimana disadari bahwa hanya dengan melalui peningkatan kemakmuran nasional
maka peran serta dalam pemeliharan perdamaian dunia dapat dilaksanakan. Dan
lebih dari itu, dengan keterpenuhan seluruh cita-cita tersebut maka tujuan
kemerdekaan menjadi bermakna dan kedaulatan
bangsa dan negara Indonesia
tergenapi.
Atas dasar prinsip politik luar
negeri yang bebas aktif dan amanat konstitusi, maka dapat pula dikatakan misi
atau tujuan kebijakan luar negeri Jokowi-JK selaras.
Tujuan tersebut adalah:
·
Mengedepankan identitas sebagai
negara kepulauan dalam pelaksanaan
diplomasi dan membangun
kerjasama internasional;
·
Meningkatkan peran
global melalui diplomasi middle power yang menempatkan Indonesia sebagai
kekuatan regional dan kekuatan global secara selektif dengan memberikan
prioritas kepada permasalahan yang secara langsung berkaitan dengan kepentingan
bangsa dan negara Indonesia;
·
Memperluas mandala keterlibatan
regional di Indo- Pasifik, dan;
·
Merumuskan dan melaksanakan politik
luar negeri yang melibatkan peran, aspirasi dan keterlibatan masyarakat.
Demikian pula dengan empat prioritas
yang ditawarkan oleh presiden terpilih Jokowo, yakni (1) Perlindungan WNI,
termasuk TKI di luar negeri; (2) Perlindungan
sumber daya alam
dan perdagangan; (3) Produktivitas perekonomian; dan (4) Pertahanan
keamanan nasional, regional serta perdamaian
dunia. Sementara Jokowi menaruh perhatian khusus pada komitmen pemberian
dukungan bagi kemerdekaan dan keanggotaan Palestina di PBB, Jokowi juga
mengedepankan diplomasi total di dalam menyelesaikan potensi sengketa dengan
negara-negara lain.
Prioritas program di atas, sekalipun
masih bersifat normatif (on paper) bisa dilihat sebagai prioritas yang
menunjukkan kecenderungan inward- looking. Hal ini berbeda, jika tidak
bertentangan, dengan misi, kebijakan dan
strategi terdahulu yang lebih menampilkan kesan “baru”, “proaktif” dan
outward-looking, meskipun seorang analis berpendapat, “Yudhoyono's foreign
policy is all about image”.
2.
Konstelasi Politik Internasional dan Regional:
Pada dasarnya dinamika politik
internasional yang diwarisi oleh Presiden Joko
Widodo tidak berbeda dari masa
pemerintahan Presiden Susilo B .Yudhoyono. Ini menjadi argumentasi kedua
mengapa Jokowi akan cenderung mengutamakan penguatan nasional.
Kekuatan-kekuatan internasional masih akan tetap berada di tangan AS, Uni
Eropa, bersama dengan organisasi- organisasi
internasional seperti PBB, U E / N ATO, IMF/WB , WTO , dll .
Lembaga-lembaga semacam ini tetap tidak
terpisahkan dari AS
dan UE karena menjadi instrumen
penting bagi legitimasi maupun penguatan dan perluasan peran negara-negara
besar tersebut. Perkembangan kekuatan
Cina dan kemunduran relatif kekuatan Jepang serta geliat kekuatan yang kembali
ditampilkan oleh Rusia telah menjadi bagian dari dinamika politik internasional
dalam satu dasawarsa terakhir. Ketegangan dan persaingan di antara mereka
mempertegas multipolarisme kekuatan-kekuatan dunia Hal itu disemarakkan pula
oleh kekuatan- kekuatan middle-power lainnya seperti India dan
Brasil. Kekuatan-kekuatan
revisionis dengan arsenal nuklir dan ideologi ekstrimnya (left-wing atau right-
wing) seperti Korea Utara dan Iran kerap pula meningkatkan ketegangan global
dan memaksa pergeseran isu dan agenda internasional. Kemunculan gerakan-
gerakan kritis-ekstrim-radikal berupa terorisme internasional juga menambah
ketegangan tertentu yang tidak saja mengganggu ketertiban dunia, tetapi juga mengancam
struktur global yang dibangun di atas negara (state-system) dan didominasi oleh
negara-negara besar.
Selain isu politik keamanan, agenda utama global tetaplah pada perekonomian.
Sekalipun ketegangan-ketegangan politik di atas mempengaruhi kinerja ekonomi
internasional, forum- forum
internasional masih tetap didominasi oleh persoalan ekonomi, baik itu dalam
rangka meningkatkan kerjasama untuk memproduksi lebih banyak keuntungan dan
kebaikan bersama , maupun dalam rangka mengatasi kemunduran
yang mungkin terjadi, termasuk
menyelesaikan sengketa-sengkata ekonomi, investasi, dan perdagangan seperti
halnya Eurocrisis. Pernyataan pers tahunan Menlu Marty Natalegawa pada awal
tahun2014 menggambarkannya terjadinya “trust deficit” sekalipun kerjasama ekonomi dan saling ketergantungan
terus berlanjut.
Isu-isu non-tradisional seperti
lingkungan hidup (global warming dan climate change), penegakan HAM,
perluasan demokrasi dan
partisipasi nampaknya tetap merupakan isu marginal. Kehadirannya ke
panggung internasional ditentukan oleh peristiwa- peristiwa tertentu atau oleh
gerakan kelompok-kelompok tertentu. Dalam hal ini peran global civil society
organizations and movements termasuk media
massa dan media
sosial serta kemampuan mereka mendapatkan
dukungan dari pemerintahan negara- negara dan organisasi internasional akan
sangat penting. Di samping isu-isu yang bersifat universal di atas, terdapat
pula isu-isu yang lebih spesifik
baik karena faktor geografis maupun pertimbangan-pertimbangan
pragmatis. Dinamika politik dan ekonomi di Asia Tenggara dan Asia nampaknya
akan tetap didominasi oleh pelaksanaan ASEAN Community dan munculnya “ancaman”
Cina.
Komunitas ASEAN dengan tiga
pilarnya, ASEAN Political and Security Community (APSC), ASEAN Economic
Community (AEC) dan ASEAN Social and Cultural Community (ASCC) yang hendak
diwujudkan pada Desember 2015 menuntut kesiapan maksimal baik dari setiap
negara anggota maupun institusi ASEAN sendiri. Tidak tertutup kemungkinan
terjadinya ketegangan di antara negara-negara anggota yang diakibatkan oleh ketidak-siapan dan tuntutan
pengecualian (exceptions) atau pembebasan (exemptions). D a l a m konteks ini,
presiden Jokowi nampak memberi perhatian besar. Presiden Jokowi boleh jadi
melihat ASEAN Community sebagai “sesuatu yang tidak terelakkan”, tetapi boleh
jadi pula sebagai “sesuatu keharusan yang menguntungkan.”
Peningkatan kekuatan Cina yang
drastis menimbulkan ancaman sekaligus peluang
bagi negara-negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia. Klaim negara tirai bambu tersebut atas
wilayah di Laut Cina Selatan (LCS), yang didukung oleh peningkatan kekuatan
militer, tidak urung menimbulkan kekhawatiran sekaligus perlawanan atas
kemungkinan hilangnya wilayah dan sumber
daya dari masing-masing negara pengklaim lainnya. Vietnam, Filipina, Malaysia,
dan Brunei Darusalam, yang merupakan negara-negara anggota ASEAN, di samping
Jepang dan Korea Selatan, juga berkepentingan agar jalur laut tersebut aman
untuk perdagangan dan aktifitas ekonomi lainnya.
Terhadap perkembangan situasi di LCS
nampaknya Presiden Jokowi memandangnya sebagai sesuatu yang tidak secara
langsung berhubungan dengan
kepentingan Indonesia. Pandangan tersebut telah menuai kritik dengan mengatakan
bahwa Jokowi tidak memahami persoalan tersebut dengan baik. Sesuai dengan
pandangan tersebut dan seakan-akan mencoba menanggapi kritikan tersebut, Jokowi
menegaskan bahwa Indonesia akan menempuh jalan diplomasi untuk mengatasi
persoalan tersebut. Namun, dia juga menyiratkan, keterlibatan diplomatik
tersebut harus mampu memberi manfaat bagi Indonesia.
3.
Dinamika Politik dalam Negeri:
Argumentasi ketiga yang mendorong
dan sekaligus membenarkan kebijakan luar negeri Presiden Jokowi condong
inward-looking dan low-profile adalah dinamika politik dalam negeri. Kemenangan
Jokowi-JK dalam pilpres bukanlah tanpa kesulitan atau perlawanan. Dengan
memenangkan hanya 52 persen suara dan perbedaan sekitar 7 juta suara, margin
kemenangan tersebut telah membuka ruang bagi pasangan Prabowo-Hatta untuk
melakukan tuntutan hukum agar Mahkamah
Konstitusi (MK) membatalkan kemenangan Jokowi-JK. Keputusan MK yang mengukuhkan
kemenangan Jokowi-JK sebagaimana sebelumnya telah ditetapkan oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU)
pada 21 Juli 2014 tidak menyurutkan koalisi merah-
putih pendukung Prabowo-Hatta untuk memberikan “kesulitan-kesulitan” bagi
pemerintahan Jokowi-JK dalam lima tahun
kedepan. Hal ini
antara lain dimungkinkan
mengingat mayoritas anggota DPR merupakan pendukung Koalisi Merah-Putih (KMP)
dan menjadi penyeimbang, jika bukan menjadi oposisi, terhadap Koalisi Indonesia
Hebat (KIH) yang merupakan pendukung Jokowi-JK.
Tiga fungsi utama badan legislatif
DPR, yaitu regulasi (legislasi) , penganggaran, dan pengawasan akan berdampak
besar terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi eksekutif yang diemban presiden.
Politik dan kebijakan “hati-hati” akan mewarnai pemerintahan Jokowi. Di
satu sisi, Jokowi akan menghindari mengambil kebijakan-kebijakan kontroversial yang
mengundang penolakan dari DPR. Kebijakan “mengambil hati” anggota DPR dapat
dilakukan dengan kebijakan dan program yang “memenangkan hati” rakyat. Kondisi
ini, di sisi lain, akan menyita perhatian dan energi Jokowi untuk (KPK)
merupakan contoh nyata dari tersanderanya kebijakan-kebijakan dan
program-program pembangunan yang telah dicanangkan oleh pemerintahan Jokowi-JK.
Daya tarik atau beban politik
domestik sebenarnya tidak berhenti pada relasi presiden (lembaga kepresidenan
dan kabinet) dan DPR (beserta partai- partai politik). Sejalan dengan agenda
konsolidasi demokrasi, terdapat sejumlah masalah pokok yang perlu mendapat
perhatian presiden. Diantaranya adalah upaya peningkatan kepatuhan pada hukum
(law-enforcement), pemberantasan korupsi, reformasi birokrasi, penguatan
lembaga-lembaga demokrasi (seperti partai politik, CSOs dan media) serta
perluasan konstituen demokrasi.
Secara positif dan optimistik, Rizal
mengelola hubungan baik dengan DPR Sukma mengatakan bahwa “figur melalui program-program yang
baik untuk rakyat dan selanjutnya akan mengurangi perhatiannya pada isu-isu
internasional. Kasus penunjukan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri serta
rangkaian perdebatan politik yang bermuara pada persengkataan antara Polri
dan Komisi Pemberantasan Korupsi demokrasi menjadi elemen utama bagi
kebijakan luar negeri Indonesia”. Lebih lanjut dia berpendapat bahwa kemampuan
Indonesia meraih kepemimpinan di ASEAN,
memainkan peran global, mempromosikan diri sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di
dunia, menjadi negara dengan mayoritas Muslim moderat, serta menjadi bridge
builder dan problem solver dalam komunitas global, hal itu “sangat tergantung
pada sejauh mana Indonesia dapat mengelola tiga isu kunci domestik, yaitu:
konsolidasi demokrasi, dampak nasionalisme internal pada kebijakan luar negeri,
dan dimensi Islam”
4.
Idiosinkretisme Jokowi:
Prinsip politik luar negeri
Indonesia “bebas-aktif” dan tujuan konstitusional Negara Indonesia selain
membuka ruang pada interpretasi dan perumusan prioritas sebagaimana dibahas
sebelumnya, juga membuka ruang terhadap berbagai model pengambilan keputusan.76
Rational Actor Model (RAM) misalnya mengandaikan bahwa setiap pemerintah atau
pembuat keputusan politik luar negeri melakukan analisis yang mendalam dan
menyeluruh terhadap berbagai informasi, fakta, dan peristiwa yang
terjadi. Keputusan dan kebijakan negara-negara lain pun
dicermati dan dikaji. Hasil kajian yang terkerangka melalui cost-and-benefit analysis akan
bermuara pada pengambilan kebijakan yang lebih menguntungkan.Dalam sejumlah
kasus, tidak ada keraguan bahwa pemerintahan sebelumnya menerapkan model ini.
Paling tidak secara politis atau ideologis, pemerintah pasti berdalih bahwa
setiap kebijakan luar negeri yang diambil telah dipertimbangkan secara seksama
dan ditujukan semata-mata bagi kepentingan nasional.
Salah satu kesulitan dan sekaligus
persoalan atau kelemahan “model aktor rasional” adalah keharusan untuk
mengetahui semua aspek-aspek yang terkait dengan tujuan, perhitungan,
pilihan-pilihan, konsekuensi yang terkait dengan proses, hasil, dan akibat dari
pengambilan keputusan kebijakan luar negeri
baik dari sisi
internal maupun eksternal.
Kesulitan ini turut memunculkan
bureaucratic behavioral model
yang lebih merupakan penyederhanaan dari RAM.
Yang ditegaskan oleh model perilaku organisasi ini adalah adanya
prosedur- prosedur organisasional baku (POB) di dalam menjalankan
tugas-tugasnya serta apabila menghadapi persoalan-persoalan tertentu. POB ini
menjadi acuan perilaku dan tindakan para pembuat dan pelaksana keputusan luar
negeri. Kehebatan atau tingginya kualitas kebijakan yang diambil sangat
ditentukan oleh tingkat institusionalisasi organisasi pembuat keputusan itu
sendiri.
Model ketiga pengambilan kebijakan
luar negeri adalah governmental political model. Berbeda dengan model birokratis, model
politik pemerintahan ini menjelaskan proses pengambilan kebijakan luar negeri
sebagai political games yakni pertarungan antara kekuatan-kekuatan politik
dengan preferensi-preferensi atau kepentingan- kepentingan tertentu. Keputusan
yang diambil merupakan hasil proses tawar- menawar dan/atau kompromi. Sebagai
permainan politik, pertarungan dan negosiasi tidak berlangsung hanya di
ruang-ruang sidang elit politik, tetapi juga di ruang-ruang publik yang
melibatkan kekuatan massa dan opini masyarakat. Sangat besar kemungkinan dimana
kekuatan atau kekuasaan yang lebih besar pada akhirnya akan menentukan
kebijakan yang akan diambil.
Ketiga model pembuatan kebijakan
politik luar negeri di atas pada hakikatnya tidak mampu mengabaikan eksistensi
dan signifikansi individu-individu yang terlibat. Ketiganya lebih merupakan
over-simplifikasi dengan cara men-subordinasikan personal
individuals dalam proses-proses pembuatan keputusan dalam bentuk “rasionalitas
kolektif”, “kepentingan politik atau publik”, dan prinsip-prinsip efektifitas
dan efisiensi birokrasi. Sejatinya, yang terjadi adalah konversi rasionalitas
subjektif dan transformasi kepentingan-kepentingan subjektif. Kesamaan-kesamaan pandangan
dan kepentingan menjadi syarat
penting untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan kolektif dan institusional. Dan,
apabila tidak terdapat kesamaan tersebut, maka yang kemudian menentukan adalah
kepatuhan inter-subjektif (dari anggota kelompok) dan ketegasan serta kekuatan
otoritas (dari pemimpin kelompok).
Faktor subjektifitas, khususnya
pemimpin, selanjutnya menjadi dasar bagi kemunculan model pengambilan keputusan
keempat, yakni idiosyncrasy model (idiosinkretisme). Model ini menggariskan
empat dimensi yang perlu dicermati:
cognitive, social perception, dan keberanian merupakan
aspek-aspek dari selfness yang
menentukan others berupa
prioritas kepentingan dan pengetahuan tentang orang/yang lain. Tidak tertutup
kemungkinan bahwa kesederhanaan dan kejujuran Jokowi akan sangat menentukan prioritas-priorita
motivational, dan emotional.
Dimensi dalam politik
luar negeri Indonesia, kognitif ini menggambarkan
pengetahuan dan pemahaman seseorang pemimpin terhadap (a) kompleksitas masalah-
masalah internasional, (b)
relasi-relasi atau interaksi yang berlangsung (kerjasama, ketegangan,
konflik, perang), (c) identitas, nilai, dan kepentingan yang terkandung atau
terlibat dalam setiap relasi internasional, (d) regulasi-regulasi,
ekspektasi-ekspektasi, serta kekuatan- kekuatan yang bermain (international
regime/governance), dan (e) proses- proses dan pola kerja internasional dan
nasional (domestic politics).
Sementara itu social perception dari
idiosinkretisme menunjukkan pola hubungan antara self (diri sendiri) dan others
(yang lain). Kesederhanaan, kejujuran,
keterbukaan, atau ketegasan seperti kerjasama-kerjasama ekonomi
dan sosial dengan negara-negara lain atau organisasi internasional yang
dipersepsi sebagai sama dengan dirinya sendiri, yakni jujur dan baik. Disisi
lain, ketegasan dan keberanian Jokowi dapat muncul bila menghadapi negara atau aktor
non-negara yang dinilai berlawanan atau melawan kesahajaan dan kejujuran.
Dalam hal
ini patut ditegaskan
bahwa dimensi persepsi sosial dari sinkretisme Jokowi bersifat filosofis
sekaligus instrumental. Dimensi motivasional dari idiosinkretisme mengarah pada
self- realization dan self-actualization. Seperti halnya presiden-presiden
sebelumnya, self-beliefs (nilai-nilai dan persepsi sosial) yang dimiliki oleh
presiden dikehendaki untuk diaktualisasikan. Jika, misalnya Presiden SBY
melihat pentingnya keteraturan (seremonial dan protokoler) serta reputasi (posisi dan
rasa hormat), hal itu terlihat jelas mempengaruhi tampilan politik luar negeri
Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir. Ini sangat mungkin berbeda dengan
self-beliefs yang dimiliki Jokowi yang sederhana dan jujur serta mementingkan kerjasama
yang konkrit dimana hal-hal tersebut diinginkan untuk direalisasikan dan
ditampilkan.
Dengan kata lain, presiden terpilih
Jokowi menghendaki politik dan hubungan luar negeri yang lebih berlandaskan
hubungan kerjasama yang sederhana tetapi jujur serta memberi hasil positif dan
konkrit bagi pihak-pihak yang terlibat.
Aspek terakhir dari idiosinkretisme
adalah emotional. Ini mencakup emosi- emosi positif (seperti keriangan, simpel,
fleksibel, optimis, dll) serta emosi-emosi negatif (sedih, gusar, marah,
kecewa, dll). Pengenalan melalui pemberitaan media nampaknya Jokowi memiliki
emosi- emosi positif yang lebih kuat atau menonjol dibandingkan dengan emosi-
emosi negatif. Dia merasa aman dan nyaman dalam keramahan di tengah masyarakat.
Ini sejalan dengan pandangan para pakar psikologis dimana Jokowi memiliki kecenderungan
afiliasi sosial yang lebih kuat
serta memiliki emosi yang lebih stabil,
lebih terkendali. Disamping
kemampuan intelektual, “stabilitas emosi, karakter, sikap, dan kepribadian
capres akan menentukan kemampuan melaksanakan pekerjaan seperti kemampuan
berkomunikasi, pengajian keputusan, analisa dan mencari solusi kreatif”.
”Jika diukur dengan angka 1-10,”
Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia
Hamdi Muluk menjelaskan,
”poin untuk stabilitas emosi Prabowo
berada pada angka 5,16. Adapun Jokowi 7,60 dalam hal ketenangan dalam
menghadapi persoalan yang berat. Sementara itu, cawapres Hatta Rajasa mendapat
poin 6,48 dan Jusuf Kalla mendapat poin 7,51.” "Jadi, soal stabilitas
emosi, Jokowi relatif lebih stabil dibanding Prabowo," katanya. Lebih
lanjut dijelaskan, “Dalam hal kemampuan menyelesaikan persoalan pelik, poin
untuk Jokowi juga lebih tinggi dibanding Prabowo.
“Jokowi mendapat poin 7,83 dan
Prabowo 6,23 poin. Adapun Kalla mendapat poin 7,86 dan Hatta 5,99.”
Meskipun para ahli psikologi tidak
memaparkan faktor-faktor yang mempengaruhi karakter dan emosi presiden terpilih
Jokowi, bisa diduga bahwa latar belakang etnis, kultur, dan sosialnya turut
menentukan. Dalam konteks ini, budaya dan tradisi Jawa yang menekankan sikap
“guyub” dan mengutamakan “harmoni”, mempunyai
kontribusi terhadap kemampuan pengendalian emosi serta penampilan diri yang
lebih santun.
Dalam rangka memperjelas pemahaman
tentang faktor personalitas yang mempengaruhi orientasi kebijakan luar negeri, Margareth
Hermann menyebutkan dua tipologi pemimpin dan kepemimpinan: aggressive
leaders dan ada enam
karakteristik personal yang diajukan.
Aggressive leaders adalah “high in need for power, low in conceptual complexity,
distrustful of others, nationalistic, and likely to believe that they have some
control over the events in which they are involved.” Sementara itu,
conciliatory leaders adalah “high in need for affiliation, high in conceptual
complexity, trusting of others, low in nationalism, and likely to exhibit
little belief in their own ability to control the events in which they are
involved”.
Harapan dan tantangan
Tidak dapat dipungkiri bahwa selama pemerintahan Presiden SBY,
“Indonesia telah muncul sebagai negara yang memiliki global responsibilities
dan global interests. Tidak ada satupun isu global yang luput dari perhatian
politik luar negeri Indonesia”. Prestasi ini patut diapresiasi oleh berbagai
pihak.
Namun demikian, politik luar negeri Indonesia akan terus berlanjut
seiring dengan perubahan dan perkembangan global serta sejalan pula dengan
dinamika politik dalam negeri yang ditandai oleh pergantian presiden dari SBY
kepada Jokowi.
Paparan singkat tentang model- model pengambilan kebijakan luar
negeri di atas dimaksudkan untuk memperluas horison di dalam melihat
(memprediksi) kebijakan luar negeri Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi-JK. “Model
aktor rasional” memperlakukan faktor-faktor internal (nasional) sama
pentingnya dengan faktor-faktor eksternal (internasional). Kompetensi
para pembuat keputusan mulai dari Presiden dan jajaran Kemenlu menjadi kunci
utama dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan
Indonesia, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang, di segala aspek
kenegaraan. Secara deduktif Presiden,
Menlu, para diplomat, dan jajaran pemerintah lainnya selama satu dekade
terakhir mencoba mengikuti model ini yang pada gilirannya mampu mengangkat
posisi dan reputasi Indonesia sebagai middle power dalam kancah politik
regional dan global. Jika status dan peran ini dipandang perlu, seperti telah
dinyatakan dalam visi-misi Jokowi-JK tentang Indonesia sebagai kekuatan
regional dan global, maka Presiden Jokowi perlu mengetahui dan memahami secara
cermat dan komprehensif dinamika politik global dengan segala bentuk relasi
kekuatan dan kepentingan serta regulasi-regulasi global yang ada. Jajaran
Kemenlu dan berbagai jenis think-tank perlu secara konsisten mensuplai presiden
dengan berbagai informasi tentang peristiwa dan regulasi yang ada
dan juga diiringi
dengan analisis-analisis rasional dan rekomendasi-rekomendasi yang
reliable tentang peluang peran dan kepentingan Indonesia beserta
resiko-resikonya.
Model birokrasi memberi peluang yang lebih besar kepada instansi
yang selama ini menangani hubungan luar negeri Indonesia untuk melanjutkan
kebijakan-kebijakan yang dianggap penting dan tepat. Ini tidak terbatas pada Kemenlu, tetapi juga
sekretariat kepresidenan dan wakil presiden, Kemenkopolhukam, Panglima TNI dan Polri serta Komisi I DPR RI. Secara
operasional, jajaran Kemenlu tetap berada di garis terdepan di dalam menentukan
agenda-agenda hubungan luar
negeri Indonesia yang dapat
ditawarkan kepada presiden dan dikonsultasikan dengan lembaga-lembaga terkait
lainnya . Meskipun keputusan akhir berada di tangan presiden sesuai dengan
hierarki otoritas dan tata kelola pemerintahan, jajaran birokrasi Kemenlu perlu
terus dimampu-kembangkan. Joko Susilo, mantan dubes RI di Swiss, menegaskan
mendesaknya reformasi di
kementerian yang selama dipimpin Marty Natalegawa proses politik sebagai
model ketiga pengambilan kebijakan luar negeri. Kebijakan tersebut boleh jadi
mengubah orientasi politik luar negeri yang selama ini tidak atau kurang
mementingkan karakter archipelagic country dan lebih berkiblat ke barat (Amerika
dan Eropa). Jika dikaitkan dengan fasilitasi yang disediakan oleh pemerintah di
dalam mendukung kebijakan luar negeri, maka ada kemungkinan sumberdaya yang dinilai tidak berjalan.
Meski pendapat memiliki
akan lebih diarahkan
untuk itu dibantah oleh Dubes/Sekjen Kemenlu memperkuat, merealisasikan,
dan Kristiarto Legowo, pengamat lain Ben mengaktualisasikan konsep
maritime.
Perkasa Drajat mengusulkan, antara lain, pentingnya reformasi
sumber daya manusia yang mampu membentuk kualitas kebijakan luar negeri dan
kualitas diplomasi Indonesia. Dia menambahkan, “the Foreign Ministry has to be
more inclusive and open to the public”.
Visi-misi pemerintahan Jokowi-JK yang mengedepankan identitas
sebagai negara kepulauan serta perluasan mandala keterlibatan regional di
Indo-Pasifik boleh jadi membuka peluang pada proses-axis. Sejumlah ide terkait
dengan poros kelautan tersebut, seperti pembangunan tol laut,
inter-konektivitas laut, dan penguatan armada angkatan laut (AL), mempunyai
konsekuensi pada penguatan sektor-sektor dan pihak-pihak yang terkait atau relevan dengan hal itu. Dengan
mengasumsikan adanya keterbatasan sumberdaya, maka masuk akal bilamana terjadi
pengurangan pada sektor atau wilayah yang selama waktu lalu dipandang sangat
penting. Hal ini mungkin akan menimbulkan resistensi yang penyelesaiannya
memerlukan negosiasi dan kompromi politik. Namun demikian, Ben Perkasa
berpendapat bahwa inisiatif unilateral ini penting untuk mendongkrak kepercayaan diri
bangsa d a n menumbuhkan pengertian
internasional bahwa Indonesia “was indeed committed to its sovereignty and new
maritime cooperation.”
Baik secara teoritis apalagi praktis, sangat sulit mengingkari
faktor idiosinkretisme Jokowi dalam kebijakan luar negeri Indonesia ke depan. Prioritas
politik luar negeri Jokowi-JK seperti disebut di atas merupakan program-
program yang menggambarkan “apa dan siapa Jokowi”. Perlindungan WNI dan TKI
adalah keprihatinan riil dan bersifat kolektif dan berorientasi kerakyatan.
Perlindungan sumber daya alam dan optimalisasi perdagangan juga merupakan
sektor-sektor riil yang memerlukan penanganan serius guna memulihkan rasa
nasionalisme dan hargadiri bersama. Terkait dengan itu adalah pembangunan
ekonomi yang memerlukan keterlibatan dan peran positif seluruh pemangku
kepentingan nasional. Sementara itu, pertahanan dan keamanan nasional,
regional, dan global dipandang penting untuk memuluskan prioritas-prioritas
yang disebut terdahulu. Semua prioritas ini
dibungkus dalam jargon people-based
diplomacy , sebagaimana dinyatakan oleh anggota Tim Transisi Jokowi-JK Andi
Widjajanto dan ketua kelompok kerja bidang pertahanan dan kebijakan luar negeri
Jokowi-JK, Rizal Sukma.
PENUTUP
Secara konseptual dan normatif visi-misi kebijakan luar negeri
Jokowi-JK tetap sejalan dengan prinsip bebas-aktif dan tujuan konstitusional
politik luar negeri Indonesia. Namun demikian, patut dicermati bahwa terdapat
ketidak- sesuaian antara visi-misi dengan prioritas program untuk beberapa bidang
. Misalnya antara identitas kepulauan dan perlindungan WNI atau dukungan
terhadap Palestina. Demikian juga halnya relevansi status middle-power dan
mandala Indo-Pasifik dengan potensi ancaman/tantangan terhadap keamanan dan
perdamaian dunia yang secara geografis berada di Afrika, Timur Tengah dan Eropa
Timur. Walaupun terdapat pula ancaman keamanan dan stabilitas
di Asia Timur, dalam hal ini Laut Cina Selatan, dan
ketegangan-ketegangan bilateral sehubungan dengan territorial/border disputes
di Asia Tenggara (ASEAN),
prioritas-prioritas yang dicanangkan tidak sertamerta terkait. Hal ini dapat
menimbulkan dualisme atau pengaburan fokus perhatian dan alokasi
sumberdaya yang ada. Tantangan normatif lainnya adalah sehubungan dengan
pelibatan peran serta masyarakat yang memerlukan pengaturan-pengaturan yang
lebih seksama.
Seperti halnya dinamika internasional yang bersifat fluktuatif
tetapi kekuatan dan isunya saling terkait satu sama lain, semua langgam
pengambilan keputusan luar negeri pun dapat berlangsung secara bersamaan atau
bergantian. Pola-pola pengambilan keputusan apakah yang berbentuk aktor
rasional, birokratis atau politis, pilihannya sangat ditentukan oleh prioritas
tertentu. Namun demikian, pola yang bersifat individualis atau idiosinkratis dimana
persepsi, penilaian, kepribadian, dan
gaya kepemimpinan Jokowi akan mempengaruhi kinerja politik luar negeri
Indonesia. Berdasarkan itu, kebijakan luar negeri akan lebih diproyeksikan
untuk penguatan di dalam (inward looking) dan akan merupakan kecenderungan
utama politik luar negeri Indonesia lima tahun ke depan.
|
17 Desember 2016
MAKALAH POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA DIBAWAH KEPEMIMPINAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar