A. Definisi Tari Tanggai
Selain
Tari Gending Sriwijaya, Sumatera Selatan juga memiliki tarian lain yang biasa
digunakan untuk menyambut tamu yaitu Tari Tanggai. Seperti pada Tari Gending
Sriwijaya, tarian ini dibawakan ketika menyambut tamu-tamu kehormatan atau
dipentaskan dalam acara hajatan pernikahan. Tari ini dipentaskan oleh lima
orang penari. Penari-penari tersebut mengenakan pakaikan khas daerah Sumatera
Selatan seperti dodot, songket, kalung, pending, rampai atau kembang urat,
sanggul malang, kembang goyang, tajuk cempako, dan tanggai berbentuk kuku.
Tanggai yang digunakan dalam tarian ini terbuat dari bahan berupa lempengan
tembaga. Tarian ini adalah perpaduan antara busana khas daerah Sumatera Selatan
dengan gerakan-gerakan yang gemulai. Saat mementaskan tarian ini, para
penari terlihat anggun dengan pakaian adat khas daerah yang mereka kenakan.
Tari ini ingin memperlihatkan masyarakat Palembang yang baik, ramah, penyayang,
hormat, dan menghargai tamu yang datang ke daerahnya.
Tari
Tanggai termasuk salah satu tari tradisional asli Palembang tetapi telah
berkembang hingga ke seluruh penjuru Sumatera Selatan. Pada zaman dulu, tari
ini adalah tari persembahan masyarakat Buddha di Palembang kepada Dewa Siwa.
Para penari membawa sesaji yang berisi bermacam-macam bunga dan buah-buahan.
Karena tarian ini awalnya adalah tari persembahan untuk pengantar sesaji,
tarian ini dulu termasuk tarian yang sakral dan tidak boleh ditarikan
sembarangan. Tanggai yang ada di Palembang memiliki banyak kesamaan dengan
tarian yang ada di China. Ini disebabkan karena pada zaman dahulu di Sumatera
Selatan ada sebuah kerajaan yang dibangunan oleh generasi Raja Syailendra yang
memeluk agama Buddha. Secara tidak langsung, tarian Tanggai ini pun diajarkan
karena tari ini berfungsi sebagai tari pemujaan dan persembahan dalam
kepercayaan agama Buddha.
Tari
ini diberi nama Tanggai karena para penari yang mementaskan tarian ini semuanya
menggunakan tanggai yang dipasang pada delapan jarinya kecuali jari jempol.
Tanggai terbuat dari kuningan atau perak yang kemudian dipasangan pada ujung
jaring tangan. Jadi, sebenarnya kekuatan dan keindahan tarian ini terletak pada
tanggai atau kuku palsu yang dikenakan oleh para penarinya. Pada saat hari-hari
besar atau saat acara-acara lain, tarian ini selalu ditampilkan setelah tamu
kehormatan datang dalam acar tersebut. Setelah tamu duduk di tempat yang
disediakan, tari ini akan dipentaskan sebelum acara dimulai.
B. Fungsi Tari Tanggai
Pada dasarnya, tarian ini
memiliki beberapa fungsi, yaitu :
1.
Sebagai Lambang/Simbol Kehormatan
Dalam
tarian ini,ada seorang penari yang menjadi penari utama. Penari tersebut
membawa tepak berisi sekapur sirih. Bagi masyarkaat Palembang jaman dulu,
pemberian kapur sirih menjadi tanda hormat bagi tamu yang datang. Penari
sekapur sirih terdiri dari dua macam yaitu penari sirih tidak jadi dan
jadi.Siri jadi merupakan siri yang telah diramu sementara siri tak jadi
merupakan siri yang akan diramu tamu itu sendiri.
2.
Sebagai Hiburan
Tarian
ini selalu dipentaskan setiap ada acara adat baik acara resmi maupun yang tidak
resmi. Bagi para penari, tarian ini menawarkan kenikmatan tersendiri. Selain
biasanya dipentaskan untuk acara-acara formal, tarian ini juga telah menjadi
hiburan rakyat karena rakyat bisa melihat betapa indahnya gerakan-gerakan dan
kepiawaian sang penari dalam menarikan tarian ini.
3.
Sebagai Media Pendidikan
Selain
menawarkan unsur hiburan, Tari Tanggai ini juga menawarkan unsur pendidikan.
Jadi, dari tarian ini, orang-orang yang melihatnya akan mengetahui bagaimana
keindahan kebudayaan di Palembang dan mempelajari bagaimana tarian ini. Musik
pengiring tarian ini adalah musik yang menggabungkan sebuah instrumnn yang
dikerjakan oleh komponis dalam menyajikan musik iringan untuk tarian ini.
C.
Musik
Musik pengiring di
dalam tari tanggai merupakan sebuah musik yang
menggabungkan sebuah instrumental yang digarap oleh komponis dan
sekaligus di iringi oleh beberapa gendang dan
satu buah gong yang
berperan sebagai ritem/ritme.
Iringan instrumental di
dalam tari tanggai sendiri, menggambarkan nuansa melayu dan
tidak meninggalkan warna atau rasa dari musik daerah
Palembang.
Adapun alat musik yang
dipergunakan untuk mengiringi tari tanggai adalah :
·
Biola
·
Gendang
·
Gong
Judul
dari lagu pengiring tari tanggai adalah “Enam Bersaudara”, sedangkan untuk
penciptanya tidak diketahui dengan jelas siapa penciptanya. Pada masa ini, di dalam penyajian musik tari tanggai,
seseorang yang akan mengadakan acara melihat situasi dan kondisi tempat dari
pemilik acara, sehingga nantinya lagu “Enam
Bersaudara" bisa diiringi oleh organ tunggal, band, atau juga dapat
menggunakan alat musik tradisional khas daerah
D.
Gerakan
1.
Ragam Gerak
Tari
Tanggai mempunyai wujud atau bentuk yang tersusun dari rangkaian-rangkaian gerak atau motif gerak yang
telah di kembangkan dan di variasikan menjadi satu kesatuan yang utuh.[6] Sehingga
membentuk sebuah struktur tari.[6]
Adapun
sturktur gerakan tari adalah sebagai berikut :
·
Gerakan tari awal
·
Gerak masuk posisi sembah
·
Gerak Borobudur hormat
·
Gerak Sembah berdiri
·
Jalan keset
·
Kecubung berdiri bawa kanan
·
Kecubung bawah kiri
·
Kecubung berdiri atas kanan
·
Kecubung atas kiri
·
Ukur benang.
·
Gerak tari pokok
·
Tutur sabda
·
Sembah duduk
·
Tabur bunga duduk kanan dan kiri
·
Memohon duduk kanan
·
Kecubung duduk kanan dan kiri
·
Stupa kanan dan kiri
·
Tutur sabda
·
Borobudur
·
Ulur benang.
·
Gerakan tari akhir
·
Tolak bala berdiri kanan dan kiri
·
Nyumping berdiri kanan dan kiri
·
Mendengar berdiri kanan dan kiri
·
Tumpang tali/ulur benang berdiri kanan dan kiri
·
Sembah berdiri
·
Borobudur berdiri
·
Borobudur hormat
E.
Tujuan
·
Hiburan
Tari
tanggai selalu di tampilkan setiap acara adat, baik secara resmi
maupun tidak resmi.[6] Dalam
hal ini bagi para penari, tari tanggai mempunyai kenikmatan tersendiri bagi
mereka sendiri dan secara tidak langsung dapat menghibur diri para tamu yang
datang.[6]
·
Simbol kehormatan
Salah
satu penari harus ada yang menjadi primadona dan
akan membawa tepak yang berisikan sekapur sirih yang merupakan sombol
kehormatan.[6] Sedangkan
tamu kehormatan di berikan sekapur sirih sebagai simbol bahwa masyarakat Palembang siap
menerima tamu tersebut.[6] Penari
tersebut membawa kapur sirih jadi dan sirih tak jadi.[6] Sirih jadi adalah sirih yang sudah di
ramu, sedangkan Sirih tak
jadi adalah yang akan di ramu oleh tamu itu sendiri.
·
Pendidikan
Tari Tanggai selain memiliki
unsur hiburan,
Tari tanggai juga memiliki unsur pendidikannya (pengetahuan),
khususnya dalam bidang seni tari.
F.
Sejarah
Pada
zaman dahulu, tari tanggai dipersembahkan terhadap dewa siwa dengan
membawa sesajian yang berisi buah dan beraneka ragam bunga, karena tari tanggai
pada masa ini tari tanggai merupakan tari yang di sakralkan atau di sucikan
karena fungsinya sebagai pengantar persembahan terhadap dewa-dewa dalam
kepercayaan Buddha dan
tidak boleh ditarikan sembarangan. Tari Tanggai yang ada di Palembang memiliki
banyak kesamaan dengan tarian yang ada di China.[6] Ini
disebabkan karena pada zaman dahulu di Sumatra
Selatan ada sebuah kerajaan yang dibangunan oleh generasi Raja Syailendra yang
memeluk agama Buddha. Secara
tidak langsung, tarian Tanggai ini pun diajarkan karena tari ini berfungsi
sebagai tari pemujaan dan persembahan dalam kepercayaan agama Buddha.
Pada
zaman penjajahan Belanda, Pemerintah Belanda tidak
memperbolehkan perempuan untuk menari, sehingga hanya laki-laki yang
boleh menari dan
pada kemudian hari mereka tertarik dengan tanggai, maka pada tahun 1920 mereka
menggunakan tanggai dan sekapur sirih (sirih, pinang, kapur, gambir dan
tembakau yang di jadikan satu, yang disusun dalam sebuah tepak sirih) yang
berfungsi sebagai tari sambut yang dinamakan Tari Tepak atau Tari tanggai.[7]
Pada
zaman penjajahan Jepang, tari ini tidak boleh ditampilkan, maka penjajah Jepang memita Sukainah Rozak selaku
Putri karesidenan Palembang untuk menciptakan
garakan Tari Gending Sriwijaya.[7] Sedangan syair lagu dari Tari Gending Sriwijaya diciptakan
oleh Nung Cik AR, dan musik Tari Gending Sriwijaya di ciptakan
oleh Dahlan Mahibat.
Pada
tahun 1965 terjadi
pemberontakan PKI dan
pencipta syair tersebut,
yakni Nung Cik AR disinyalir
merupakan anggota PKI sehingga
ia ditangkap dan Tari Gending Sriwijaya pada saat itu
tidak boleh ditampilkan.[7] Namun,
dikarenakan banyaknya Tamu Kehormatan Negara dan Pejabat Negara yang
datang ke Palembang dan tidak adanya tarian yang biasa
digunakan untuk menyambut tamu-tamu yang datang, maka ibu Elly Rudi dan ibu Anna Kumari mengangkat
kembali dan menyusun gerakan-gerakan tarian yang
sebelumnya digunakan sebagai penghormatan terhadap tamu yang datang ke Palembang,
yakni Tari Tanggai.